Monday, February 24, 2014

Book Review : Anak Semua Bangsa

 
Judul : Anak Semua Bangsa 
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer 
Bahasa : Indonesia 
Penerbit : Lentera Dipantara 
Tebal : 536 halaman
 Diterbitkan pertama kali : 1980 (Hasta Mitra) 
Format : Paperback 
Target : Dewasa 
Genre : Roman sejarah

"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Kau sudah lupa kiranya, Nak, yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu."

Anak Semua Bangsa, adalah roman kedua dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Salah satu buku terbaik yang pernah saya baca. Tidaklah berlebihan rasanya bila penerbit Lentera Dipantara menyatakannya sebagai Sumbangan Indonesia untuk Dunia.

Ketiga roman pertama Tetralogi Buru (termasuk Anak Semua Bangsa) menempatkan Minke, seorang Pribumi terpelajar lulusan HBS sebagai tokoh utama. Minke adalah gambaran pemuda Pribumi yang selalu dilanda kegelisahan akan nasib bangsanya sebagai bangsa jajahan, kegelisahan yang dilandasi nurani kemanusiaan yang pada akhirnya menjadi landasan berpikir dan bertindak: karena dan untuk bangsanya.

Kalau roman bagian pertama, Bumi Manusia, merupakan periode penyemaian dan kegelisahan, maka roman bagian kedua ini, Anak Semua Bangsa, adalah periode observasi atau turun ke bawah mencari serangkaian spirit lapangan dan kehidupan arus bawah Pribumi yang tak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Dalam Anak Semua Bangsa, Minke dihadapkan antara kekaguman pada peradaban Eropa dan kenyataan di lingkungan bangsanya yang kerdil. Sejak kedatangan Khouw Ah Soe seorang aktivis pergerakan Tionghoa, surat-surat keluarga De la Croix, teman Eropanya yang liberal, dan khotbah politik Nyai Ontosoroh, mertua sekaligus guru agungnya, kesadaran Minke tergugat, tergurah, dan tergugah. (Lentera Dipantara)

Roman ini sarat akan pesan dan pengajaran tentang nasionalisme dan humanisme, terutama tentang kepedulian dan kecintaan terhadap bangsa sendiri. Berlatar belakang Indonesia di akhir abad 19, setting dibangun dengan gambaran yang detail baik dari latar cerita, kebiasaan, maupun budaya dan pola pikir pada zaman tersebut. Indonesia, yang dalam buku ini disebut sebagai Hindia Belanda, diceritakan masih dalam masa kolonialisme sebagai bangsa terjajah. Pribumi terutama golongan lemah adalah pihak yang paling tidak berdaya menghadapi dua penjajahan sekaligus, yakni penjajahan dari Belanda kolonial dan penjajahan dari raja-raja Pribumi sendiri yang dalam masa itu berada di bawah lambang Bupati, Pangreh Praja dan aparat-aparat pemerintahan tradisional Jawa lainnya.

Minke pasca kepergian Annelies istrinya, dalam buku ini dikisahkan mulai berusaha turun gunung untuk mengenal bangsanya. Tuduhan sahabat-sahabatnya bahwa Minke tak mengenal bangsa sendiri, karena ia hanya mau menulis dalam Belanda, enggan menulis dalam Melayu, bahasa yang notabene dikuasai oleh sebagian besar bangsanya dibandingkan dengan Belanda yang terbatas penggunanya. 

Minke dalam upayanya turun gunung, kemudian mengenal kehidupan tertindas petani gula yang dalam cerita ini diwujudkan melalui sosok Trunodongso. Petani dengan sawah seluas lima bahu, namun hidup dalam kekurangan dan penindasan karena tanah warisan yang dimilikinya direbut paksa oleh pabrik gula. Pabrik gula dalam kisah ini merupakan perwujudan penguasa dan penjajah baru dalam jaman modern, yaitu deretan angka bernama modal.

Penyaksian diri Minke atas ketidakberdayaan Trunodongso dalam menghadapi rakusnya pabrik gula mencaploki tanah petani, pengetahuannya akan kisah Surati - gadis muda yang dijual ayahnya kepada Belanda penguasa pabrik gula hanya untuk menyelamatkan jabatan sang ayah selaku juru bayar pabrik, surat-suratnya dengan keluarga De la Croix yang brilian, penuh dengan pemikiran jaman baru yang kritis, kemudian perbincangannya bersama Ter Haar, teman Eropa yang liberal dan mengajarkan Minke tentang nasionalisme dan memetik pengalaman dari berbagai bangsa-bangsa dunia. Dan yang terakhir, pelajaran kehidupan dari Nyai Ontosoroh, mertuanya, seorang perempuan Pribumi yang berdiri tegak menentang Eropa dan kolonialismenya dengan segala keberanian, kegigihan, kerja keras, wibawa dan kecerdasannya. 

Semua pemikiran, ketidakberdayaan, dan kegelisahan itu diceritakan sambung-menyambung dari satu guru dan pengalaman ke guru dan pengalaman lainnya, terus menumpahi Minke tanpa memberinya jeda, yang pada akhirnya mengubah pandangan Minke tentang hidup itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Kommer, salah seorang sahabatnya, "Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir."

Minke pun mulai menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan dan kegelisahan. Mulai ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya, nasionalisme dan kemanusiaan yang semakin kuat untuk melawan kekuatan penjajah kolonialisme, yang didasari atas satu alasan : karena dan untuk bangsanya.

Cerita berjalan relatif lambat, karena banyak di antara bagian buku hanya menceritakan pemikiran Minke sendiri. Pemikiran yang mengembara, menemukan informasi, mencerna kemudian memproses menjadi sebuah kesimpulan, di mana bagian ini hanya terjadi dalam kepala Minke, sehingga seolah waktu berhenti untuk beberapa lama karena yang dilakukan pembaca hanya mengikuti alur pikiran Minke dan berusaha untuk memahami. Namun demikian karena tema dan penulisan yang menarik, yang membawa saya tenggelam dalam kalimat-kalimatnya, maka alur yang lambat itu tidak menjadi masalah.

Tokoh favorit saya dalam buku ini, tentu saja, Nyai Ontosoroh. Perempuan pribumi terpelajar yang seorang diri menentang ketidakadilan kulit putih yang menempatkan Pribumi dan bangsa kulit berwarna sebagai warga negara dunia kelas dua. Nyai Ontosoroh adalah guru Minke dalam kehidupan, mengajarkan kepada Minke banyak hal, pendapat, pertimbangan dan sudut pandang yang tidak diperoleh Minke dari orang lain apalagi dari sekolah, dengan begitu maka Nyai Ontosoroh banyak memberikan pengaruh pada Minke. Sosok Nyai Ontosoroh ini diceritakan maju melampaui jamannya, bahkan di jaman sekarang pun tidak semua perempuan dapat berpikir dan bertindak demikian.

Dalam buku ini beberapa kali disebutkan bahwa Minke adalah lulusan HBS yang mengesankan bahwa HBS adalah gelar pendidikan yang membanggakan, maka saya pun tertarik untuk browsing soal HBS ini. Ternyata memang benar, HBS atau kependekan dari Horgere Burger School adalah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda, serupa dengan SMP dan SMA. Proporsi Pribumi untuk dapat bersekolah di HBS sangat rendah, pada tahun 1900-an (di masa Minke) Pribumi hanya 2% saja dari total siswa HBS, sementara lainnya adalah anak-anak Totok Eropa atau Peranakan. HBS di Hindia Belanda dirancang sama dengan HBS di Belanda sehingga standar kurikulumnya tinggi dan ketat. Karena tuntutan kurikulum yang tinggi tersebut, maka tingkat kelulusan sampai mendapatkan ijazah HBS hanya 25% dari total siswa. Di HBS para siswanya wajib lulus pelajaran 4 bahasa: Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Pantas saja dalam buku Minke diceritakan bisa bicara, membaca dan menulis dengan berbagai bahasa tersebut.

Ada satu lagi hal menarik yang beredar di kalangan pembaca Pram, yaitu bahwa sosok Minke dalam buku ini terinspirasi dari tokoh nyata bernama Raden Mas Tirto Adi Suryo. Seorang pelopor pergerakan Indonesia dan tokoh pers nasional, yang sempat terlupakan oleh masyarakat kita. 

Lewat buku ini, Pramoedya Ananta Toer sekali lagi membuktikan kebesaran namanya sebagai seorang sastrawan Indonesia, yang menulis karya besar justru ketika menjadi tawanan politik di Pulau Buru. Karena kekhawatiran bahwa dia takkan bisa keluar dari pulau itu hidup-hidup, dan kecemasan bahwa cerita ini akan terkubur bersamanya tanpa sempat dituliskan, maka Pram mulai menuturkan kisah ini secara lisan kepada rekan sesama tawanan di pulau tersebut. Ketika akhirnya Pram berhasil menuliskan cerita ini dan pada tahun 1980 menerbitkannya, hanya berselang beberapa bulan sejak penerbitan, buku tersebut dicekal dan dilarang beredar oleh Jaksa Agung pada masa itu. Baru 20 tahun kemudian, buku ini kembali diterbitkan dan beredar di Indonesia.

Saya pribadi sangat menikmati dan merekomendasikan buku ini. Setidak-tidaknya sekali kita perlu membaca buku-buku yang sarat nilai kebangsaan seperti ini, sebagaimana mengutip kalimat Philip Vermonte dalam artikelnya tentang Pram, "Agar kita tidak menjadi angkatan muda yang mati rasa justru di era ketika penguasa hampir tidak mungkin lagi memasung dan memenjara pikiran anak bangsanya sendiri."

Untuk buku ini, sumbangan Indonesia untuk dunia, saya memberikan lima bintang.

Review ini diikutkan dalam kategori Once Upon A Time :




post signature

No comments:

Post a Comment